paingsoe–Situasi kemanusiaan di Jalur Gaza semakin memburuk akibat blokade total Israel yang berlangsung sejak Maret 2025. Warga kini menghadapi kelaparan ekstrem tanpa akses memadai terhadap makanan, air bersih, atau layanan kesehatan dasar. Kisah Akram Basheer dan keluarganya menjadi potret nyata penderitaan yang melanda hampir seluruh penduduk di wilayah tersebut.
Kondisi orang dewasa pun tak kalah mengkhawatirkan. Tubuh lemah, mudah lelah, dan kekurangan nutrisi menjadi keluhan umum. Ayah Basheer bahkan patah tangan akibat jatuh dan sulit pulih tanpa asupan gizi memadai. Situasi semakin parah setelah Israel menutup semua akses perlintasan ke Gaza sejak 2 Maret, termasuk jalur masuk bantuan kemanusiaan.
Data dari Integrated Food Security Phase Classification (IPC) mencatat bahwa hingga Mei, sekitar 500.000 warga Gaza berada di Tahap 5—tingkat kelaparan paling parah. Seluruh populasi yang mencapai 2,1 juta orang kini masuk kategori krisis pangan serius.
Warga lainnya, Basem Munir al-Hinnawi, juga menghadapi krisis serupa. Ia hanya mampu memberi makan keluarganya roti setiap empat hingga lima hari. “Kadang saya hanya bisa belikan sepotong kue kering untuk anak saya yang masih bayi,” tuturnya. Sebagai satu-satunya pencari nafkah untuk dua keluarga setelah ayahnya terbunuh, Basem mengaku kewalahan.
Krisis ini bermula ketika Israel menutup seluruh perlintasan pada awal Ramadan, memicu kelangkaan bahan makanan. “Stok simpanan habis. Kami tidak bisa bertahan lama. Setiap hari makin sulit mencari makan,” jelas Basheer. Saat ini, seluruh penduduk Gaza berada dalam kondisi darurat pangan, dan dunia internasional didesak untuk segera bertindak.
“Baca juga: Konsumen Indonesia Lebih Menilai Value Dari pada Harga“ [3]
Tanpa intervensi global yang cepat dan signifikan, krisis kelaparan di Gaza berisiko berubah menjadi bencana kemanusiaan berskala besar. Akses bantuan harus dipulihkan dan jalur diplomasi didorong agar kehidupan warga sipil dapat terselamatkan.
Kelaparan Ekstrem di Gaza: Warga Bertahan Hidup dengan Air dan Garam
Kelaparan di Jalur Gaza kini mencapai titik kritis. Ribuan warga dewasa, termasuk keluarga Hinnawi, bertahan hidup dengan air dan garam. Tanpa asupan gizi layak, tubuh mereka melemah, pikiran kabur, dan harapan kian menipis.
Selama bulan-bulan awal blokade total Israel, rasa lapar sudah menyiksa. Namun dalam beberapa pekan terakhir, dampak fisik dari kekurangan gizi menjadi jauh lebih parah. Basem Munir al-Hinnawi mengaku kehilangan 39 kilogram berat badannya sejak perang dimulai. Ia menggambarkan kondisi keluarganya dengan suara bergetar: pusing, kelelahan kronis, dan tak sanggup bergerak.
“Setiap beberapa hari kami membawa adik perempuan saya ke rumah sakit karena pingsan. Istri saya yang sedang menyusui pun tak lagi mampu melakukan pekerjaan rumah,” katanya kepada Middle East Eye.
Kondisi ini memaksa keluarga untuk mengambil keputusan menyakitkan: hanya anak-anak yang diberi makan. Orang dewasa memilih tidak makan selama berhari-hari, hanya minum air yang dicampur sedikit garam. Garam dipakai untuk memberikan sensasi seolah makan, meski kenyataannya tubuh tidak mendapat apa-apa.
Hinnawi juga menyaksikan warga pingsan di jalanan karena kelaparan. “Kemarin seorang perempuan ambruk di tengah jalan. Orang-orang hanya bisa memberinya sesendok gula agar ia sadar kembali,” tuturnya.
Situasi ini mencerminkan penderitaan kemanusiaan yang akut. Krisis gizi yang melanda Gaza bukan hanya tentang kekurangan makanan, tapi soal hilangnya martabat, harapan, dan rasa aman. Dengan blokade yang masih berlangsung dan bantuan kemanusiaan yang terhambat, komunitas internasional dituntut untuk bertindak cepat. Jika tidak, korban jiwa akan terus bertambah dalam senyap.
“Simak juga: Minum Kopi Menimbulkan Batu Ginjal?” [5]